7 Catatan PGRI soal Merdeka
Belajar dan Guru Penggerak Mendikbud Nadiem
PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia )
menyambut baik adanya program “Merdeka Belajar” dan “Guru Penggerak” yang
dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan. "Program guru
merdeka adalah sebuah peluang bagi para guru untuk lebih maksimal mengabdi
lebih kreatif, inovatif, dan menguatkan kolaborasi. Profesi guru lebih
independen untuk mengeksplorasi dirinya sebagai pribadi pembelajar dan contoh
profesi punya potensi," ujar Ketua Umum PGRI Unifah Rasyidi. Dukungan PGRI
ini disampaikan dalam Konferensi Kerja Nasional PGRI yang berlangsung dari pada
21-23 Februari 2020 di Jakarta dan mengangkat tema “Peran Strategis PGRI dalam
mewujudkan SDM Indonesia Unggul”. Dalam sambutan Konkernas PGRI ini, Prof. Unifah Rasyidi juga memberikan beberapa rekomendasi terkait
kebijakan guru dalam Merdeka Belajar dan Guru Penggerak digagas Mendikbud
Nadiem Makarim:
1.
Kebijakan nyata yang komprehensif
Prof. Uniyah
melihat kebijakan yang baik ini seyogyanya dirancang secara komprehensif dan
dilakukan melalui koordinasi intensif
dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. "Para
guru dalam berbagai kunjungan yang kami lakukan menunggu bentuk nyata merdeka
belajar dan guru penggerak," tegas Prof. Unifah. Menurutnya,
penyederhanaan berbagai aturan administrasi yang membelenggu merupakan bentuk
nyata dari merdeka belajar.
2.
Perlunya juknis dana BOS
Pihak PGRI
menyambut gembira kebijakan penyederhanaan penyaluran dana BOS dan pemanfaatannya
hingga 50 persen untuk membantu kesejahteraan guru honorer. "Namun
demikian kami mengusulkan agar juknis untuk pemanfaatan dana BOS untuk honorer
diperbaiki. Sebab syarat NUPTK bagi honorer yang menerima honor dana BOS sangat
sulit dipenuhi mengingat untuk mendapatkan NUPTK harus melalui SK Kepala
Daerah," kata Prof. Unifah. Ia menjelaskan SK Kepala Daerah tidak
memperbolehkan diberikan kepada honorer sesuai dengan PP 48 tahun 2005.
"Kawan-kawan honorer yang selama ini menerima honor dari BOS sebelumnya
terancam tidak dapat lagi menerima honor dari BOS karena kebijakan
tersebut," jelasnya.
3.
Guru honorer 35 tahun ke atas
PGRI juga
berterima kasih kepada pemerintah yang sudah mengabulkan permohonan PGRI untuk
memperkenan guru honorer berusia 35 tahun ke atas mengikuti tes ASN PPPK."Selanjutnya
kami menunggu SK Pengangkatan CPNS bagi PPPK yang telah lulus tahun lalu.
Selanjutnya kami sangat mengharapkan revisi UU ASN yang telah disetujui DPR dan
pemerintah, memberikan kesempatan sama bagi guru dan tenaga kependidikan
honorer K2 maupun non-K untuk mengikuti tes
ASN PPPK," kata Prof. Unifah. DIharapkan melalui kebijakan ini rasa
keadilan dapat dirasakan semua honorer yang telah mengabdi nyata puluhan tahun
melayani pendidikan di seluruh pelosok tanah air. Disamping itu PGRI juga
menekankan pentingnya peningkatan kompetensi dan pelatihan berkelanjutan agar
agenda utama pemerintah dan pemerintah daerah agar para guru terus dapat
meningkatkan kapasitas diri.
4.
Pendapatan guru setara UMR
"Harapan
semua guru memperoleh pendapatan setara UMR adalah keinginan yang wajar dan
layak dipertimbangkan oleh pemerintah," ujar Ketua Umum PGRI. Pihaknya
berharap sangat perlu dipertimbangkan untuk mengkaji ulang pembagian kewenangan
pendidikan berdasarkan jenjang di pemerintah daerah kabupaten/kota dan
provinsi. "Seyogyanya Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Kabupaten/Kota bersama-sama bertanggung jawab terhadap pendidikan di setiap
jenjang untuk meminimalisir dampak yang tidak diinginkan akibat pembagian kewenangan
di atas," ujarnya.
5.
Sentralisasi tata kelola guru
PGRI memandang
sentralisasi tata kelola guru menjadi intrumen penting. "Mengingat luasnya
wilayah dan kompleksnya permasalahan pendidikan, kami menyadari pemerintah
daerah provinsi, kabupaten/kota juga harus diberikan kewenangan dalam tata
kelola guru," ujarnya. PGRI menyaranka rekruitmen guru berbasis kebutuhan
dan data akurat, penempatan, sertifikasi dan TPG serta peningkatan mutu dan
pengembangan keprofesian berkelanjutan menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Sementara penggajian dan hal-hal lainnya dapat dikelola pemerintah daerah yang
mengerti betul kebutuhan di daerahnya masing-masing.
6.
Pentingnya guru adaptif terhadap teknologi
" PGRI
sangat mendorong dan menjadi bagian aktif dalam gerakan guru sebagai
pembelajar. Betapapun derasnya arus informasi dan teknologi, peran guru
tetaplah menjadi kunci dalam pembentukan karakter peserta didik," ujar
Prof. Unifah. PGRI berpegang pada prinsip guru harus terus menerus memperkaya
pengetahuannya, metologi mengajar, dan pertumbuhan pribadi yang matang dan
asertif.
7.
Soal fenomena kekerasan dan bullying di sekolah
Terkait
fenomena kekerasan dan perundungan (bulliying) di sekolah PGRI meminta semua
pihak agar arif dan bijaksana menyikapi permasalahan tersebut. Keterbukaan arus
informasi sering menyebabkan disinformasi dan menimbulkan reaksi publik yang
belum tentu tepat dengan situasi yang sesungguhnya. PGRI bersikap tidak boleh
ada kekerasan pada siapa pun dan dalam bentuk apa pun. " Sekolah harus menjadi tempat
persemaian keluhuran budi dan akal pikiran. Bangun suasana dialogis di sekolah,
di kelas, tingkatkan kerjasama dan pemahaman bersama sekolah, guru dan
orangtua, serta upayakan hal-hal yang terkait dengan “sanksi” pendisiplinan
siswa," ujarnya. "Sanksi" di sekolah, menurutnya, dapat diganti
antara lain dengan tugas-tugas dalam bentuk pembelajaran project yang dapat
menumbuhkan tanggung jawab, disiplin, percaya diri dan respek pada orang lain.
"Saling menghormati, saling menyayangi dan saling menghargai adalah nilai
yang harus dipegang teguh di lingkungan lembaga pendidikan. Relasi guru dan
siswa adalah relasi dialogis yang didasarkan saling asih, asah dan asuh,"
tutupnya.